Pemulung juga mendapatkan berkah saat pelaksanaan shalat Idul Fitri di Masjid Agung Annur Pekanbaru. Mereka langsung mengumpulkan koran bekas yang ditinggalkan jamaah usai melaksanakan shalat. |
mirror
Senin, 05 September 2011
rezeki selepas shalat Idul Fitri
Sabtu, 27 Agustus 2011
Festival Lampu Colok
Kita semua tentu mengenal lentera atau dian, sebuah alat penerangan tradisional yang masih digunakan oleh sebagian masyarakat kita yang belum merasakan aliran listrik di daerahnya. Nah, di salah satu daerah di Indonesia, yaitu di kota Pekanbaru, ada sebuah festival yang menyajikan lentera dan dikenal dengan sebutan lampu colok. Lampu colok ini menggunakan bahan bakar minyak tanah, dengan sumbu tali. Dalam festival lampu colok di Kota Pekanbaru Riau ini, lampu colok dibentuk menjadi berbagai macam replika seperti bentuk perahu Lancang Kuning, masjid dan berbagai bentuk lainnya. Tak heran jika bentuk-bentuk yang disusun oleh lampu colok adalah simbol atau khas agama Islam, karena Festival Lampu Colok ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Lailatul Qodar di bulan Ramadhan. Pada saat perayaan Festival Lampu Colok, Kota Pekanbaru menjadi sangat meriah. Banyak wisatawan lokal yang berkunjung ke sana. Anda juga tak akan rugi jika menyempatkan jalan-jalan ke Riau dan menyaksikan sendiri keindahan Festival Lampu Colok. Warga kota secara kompak mematikan listrik di rumah-rumah mereka, sehingga yang terlihat di mana-mana adalah lampu colok yang dibentuk menjadi berbagai macam benda, kaligrafi dan tulisan-tulisan Muhammad atau Allah. Selain parade lampu colok, Festival juga dimeriahkan oleh hiburan lagu-lagu bernuansa keagamaan dan pada puncaknya diadakan pesta kembang api. Selain itu, juga ada lampion berwarna merah dengan lentera menyala di dalamnya yang dilepaskan ke udara oleh anak-anak. Kini, Festival Lampu Colok telah menjadi salah satu ikon pariwisata dari Kota Pekanbaru, dan setiap tahunnya dilombakan bagi peserta terbaik yang merangkai lampu colok menjadi bentuk yang menarik, akan mendapatkan hadiah dari pemerintah daerah. Hal tersebut menjadikan pemacu semangat bagi peserta untuk membuat lampu colok menjadi bentuk yang sekreatif mungkin. |
Selasa, 16 Agustus 2011
Jembatan Leighton penghubung dua sisi
Aktifitas warga pesisir pingiran sunggai siak di sore hari,warga memanfaatkan air sunggai siak yang di gunakan untuk mandi |
panorama indah di sore hari pinggiran sunggai siak di bawah jembatan leighton ,merupakan salah satu tempat opjek wisata warga pekanbaru |
Selasa, 09 Agustus 2011
mesjid annur pekanbaru
menjelang sore hari, mesjid annur pekanbaru menjadi salah satu tempat wisata religi dan menikmati keindahan disore hari |
Kamis, 04 Agustus 2011
PACU JALUR TEPIAN NAROSA
Asal Usul dan PerkembanganKuantan Singingi adalah sebuah daerah yang secara administratif termasuk dalam Provinsi Riau. Daerahnya banyak memiliki sungai. Kondisi geografis yang demikian, pada gilirannya membuat sebagian besar masyarakatnya memerlukan jalur1 sebagai alat transportasi Kemudian, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya. Selain itu, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. Perkembangan selanjutnya (kurang lebih 100 tahun kemudian), jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan simbol status sosial seseorang, tetapi diadu kecepatannya melalui sebuah lomba. Dan, lomba itu oleh masyarakat stempat disebut sebagai “Pacu Jajur”. Pada awalnya pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, atau Tahun Baru 1 Muharam. Ketika itu setiap perlombaan tidak selalu diikuti dengan pemberian hadiah. Artinya, ada kampung yang menyediakan hadiah dan ada yang tidak menyediakannya. Lomba yang tidak menyediakan hadiah diakhiri dengan acara makan bersama. Adapun jenis makanannya adalah makanan tradisional setempat, seperti: konji, godok, lopek, paniaran, lida kambing, dan buah golek. Sedangkan, lomba yang berhadiah, penyelenggara mesti menyediakan empat buah marewa2 yang ukurannya berbeda-beda. Juara I memperoleh ukuran yang besar dan juara IV memperoleh ukuran yang paling kecil. Namun, dewasa ini hadiah tidak lagi berupa marewa tetapi berupa hewan ternak (sapi, kerbau, atau kambing). Ketika Belanda mulai memasuki daerah Riau (sekitar tahun 1905), tepatnya di kawasan yang sekarang menjadi Kota Teluk Kuantan, mereka memanfaatkan pacu jalur dalam merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada setiap tanggal 31 Agustus. Akibatnya, pacu jalur tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat Islam. Penduduk Teluk Kuantan malah menganggap setiap perayaan HUT Ratu Wilhelmina itu sebagai datangnya tahun baru. Oleh karena itu, sampai saat ini masih ada yang menyebut kegiatan pacu jalur sebagai pacu tambaru. Kegiatan pacu jalur sempat terhenti di zaman Jepang. Namun, pada masa kemerdekaan pacu jalur diadakan kembali secara rutin untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (17- Agustusan). |
Langganan:
Postingan (Atom)